Selasa, 04 November 2008

Teknologi Informasi


Limbah Elektronik, Sisi Buram Revolusi TI India


India dikenal paling maju di bidang industri teknologi informasi terutama komputer, tetapi sebaliknya dalam mengelola limbah elektronik. Masalah utama adalah lemahnya undang-undang yang mengatur penanganan serta tak memadainya cara dan teknologi yang digunakan.

Asif yang bekerja di unit daur ulang limbah elektronik menghabiskan waktunya seharian mengais rezeki di tempat sampah ini. Sepanjang waktu itu pula ia menghirup jelaga yang keluar dari pembakaran limbah komputer. Bergumul dengan sampah ini, kulitnya pun sampai bersisik dan mengelupas. Namun, pekerjaan ini tidak mungkin ditinggalkan karena tuntutan kebutuhan untuk hidup yang lebih mendesaknya.

Kisah Asif ini telah didokumentasikan dan ditayangkan dalam CMS Vatavaran Environment Film Festival dan diputar kembali sebagai pendahuluan dari simposium tentang "Pengelolaan Limbah Elektronik", Oktober lalu di Bangalore, India.

Pekerja pendaur ulang sampah elektronik ini merupakan potret dari masyarakat India yang tidak mengetahui bahaya yang tengah mengancam kehidupan mereka karena terpapar bahan berbahaya dan beracun (B3) dari limbah tersebut.

Padahal, dalam unit personal computer (PC) terkandung banyak material yang berbahaya dan beracun. Bahan beracun seperti timbal dan kadmium terdapat pada papan sirkuit, tabung monitor (cathode ray tubes/CRT), dan baterai komputer. Merkuri ditemukan dalam sakelar dan monitor layar datar, sedangkan polychlorinated biphenyls (PCB) digunakan pada kapasitor dan transformer. Kandungan brom ditemukan dalam cetakan papan rangkaian elektronik dan plastik pembungkus. Bahaya lainnya muncul dari kabel isolator polyvinyl chloride (PVC) yang ketika dibakar untuk diambil tembaganya akan mengeluarkan racun dioxin dan furan.

Limbah komputer memiliki bahaya kesehatan dan lingkungan yang signifikan. Bahan kimia yang sangat beracun dalam berbagai bagian komponen komputer dapat mengontaminasi tanah, air tanah, dan udara, serta masuk dalam tubuh pekerja yang menangani limbah dan komunitas yang tinggal di sekitar lokasi pengolahan limbah. Dampak kesehatan yang muncul, antara lain, adalah kanker kulit, kanker paru, kecacatan, dan menurunnya tingkat kecerdasan.

Sumber B3 ini mungkin kecil dampaknya apabila volumenya kecil. Namun, sebaliknya yang terjadi di India. Negeri ini mengeluarkan 1.650 ton limbah elektronik setiap tahunnya.

"Limbah elektronik tidak hanya menyangkut kepentingan ekonomi, tetapi juga masalah sosial," ujar H C Sharatchandra, Ketua Dewan Pengendalian Polusi Bangalore dalam simposium tersebut.

India memang begitu maju dalam penguasaan teknologi informasi (TI), terutama komputer. Namun, ketika harus menangani limbah elektronik, jauh tertinggal. Masalahnya karena lemahnya hukum yang mengatur ini dan penegakan hukumnya.

Impor limbah berbahaya dan beracun ke India sebenarnya telah dilarang sebelum tahun 1997 oleh mahkamah agung yang merefleksikan kesepakatan Basel tentang itu. Namun, dalam penegakan hukum di lapangan terjadi penyimpangan.

Gaya hidup

Masalah yang berkaitan dengan e-waste di India mulai muncul ke permukaan setelah tahun 1990, seusai fase pertama liberalisasi ekonomi.

Pada tahun itu terjadi perubahan kebijakan ekonomi yang memicu pula pola konsumsi dan menaikkan volume limbah produk elektronika dari rumah tangga, perkantoran, industri, dan sektor publik. Selain perubahan gaya hidup akibat kebijakan itu, urbanisasi juga menaikkan tingkat konsumsi produk elektronik, yang berarti pula menambah bahan buangan ini.

Meningkatnya volume limbah di dalam negeri juga dipicu kebijakan bebas bea bagi impor perlengkapan TI dari perusahaan yang beroperasi di India. Penumpukan limbah elektronik di India juga semakin tinggi dengan adanya kebijakan dumping limbah dari negara maju.

Investigasi yang dilaksanakan di India dalam rangka Basel Action Network mengungkapkan bahwa terjadi kamuflase perdagangan limbah yang dilaksanakan dengan dalih untuk menggunakan ulang perlengkapan komputer itu atau sebagai donasi dari negara maju kepada negara berkembang.

Bagi negara maju, untuk mengatasi polusi di negaranya dan menekan biaya pengolahan, mereka lebih memilih mengirim limbah elektroniknya ke negara berkembang, dengan iming-iming kandungan material yang memiliki nilai ekonomis.

Impor skrap PC dari negara asing kebanyakan dalam bentuk monitor, printer, kibor, CPU, mesin ketik, dan kabel PVC. Material tersebut sangat sulit dan rumit didaur ulang dalam lingkungan terbuka, bahkan di negara yang telah maju.

Pendaurulangan limbah komputer memerlukan teknologi yang canggih dan tinggi serta proses yang tidak hanya sangat mahal, tetapi juga memerlukan keahlian khusus dan pelatihan dalam pengoperasiannya.

Penimbunan limbah elektronik, khususnya limbah komputer, ke India dari negara maju merupakan masalah yang rumit. Di India, sebagian besar pendaur ulang sampah ini tidak memiliki teknologi yang memadai dan mahal untuk menanganinya. Skrap komputer diolah melalui berbagai cara, seperti pemakaian kembali (reuse), pembuangan secara konvensional di-sanitary landfill, dibakar di insinerator, dan didaur ulang.

Solusi

Menghadapi masalah tersebut, Pemerintah New Delhi berbasis pada Toxics Link (organisasi nonpemerintah di bidang lingkungan hidup) melaksanakan penelitian untuk menjembatani kesenjangan antara pemahaman dan pengetahuan perdagangan sampah komputer dan teknologi pemrosesan ulang.

Dengan meningkatnya limbah komputer dan penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pembuatannya serta munculnya dumping ilegal di India, menurut Ravi Agarwal mewakili Toxics Link, diperlukan rekomendasi dalam manajemen limbah elektronik dalam kerangka kerja yang luas tentang extended producer responsibility dan precautionary principle sehingga kebijakan di masa depan dapat lebih responsif terhadap isu tersebut.

Solusi juga harus datang dari tingkat akar rumput. Masyarakat industri harus mampu menghapus bahan kimia beracun dan menggantikannya dengan alternatif yang lebih aman. Perusahaan peranti lunak hendaknya mendesain produk dengan masa pakai yang lebih panjang. Dengan demikian, ujar Sharatchandra, hal ini secara tak langsung akan mengurangi risiko pencemaran lingkungan.

Tidak ada komentar: